Kunci Entrepreneurship, Kreatif dan Inovatif




Dunia usaha boleh aja berubah cepat. sayangnya, teori-teori yang muncul,

relative tidak diperbarui. Hasilnya? Peter Dracker, pakar ekonom dan manajemen.

Langsung menuding.

Katanya, “Ekonomi berdasarkan manajemen telah mati!”. Komentarnya ini sebagai

sikapnya terhadap upaya penerapan teori yang dihasilkan dari kajian akademis

seringkali terbentur berbagai variable yang tak pernah diperhitungkan sebelumnya.

Bagaimana Paul Ormerod? Lebih ekstrim lagi. Malah secara tegas mengemukakan

pendapat yang seolah memvonis bahwa ilmu ekonomi secara keseluruhan telah

mati.

Dracker menilai, manajemen amat lambat menjawab perubahan yang terjadi. Ia

melihat, pihak yang mampu menjawab perubahahn dunia usaha yang begitu cepat

bukanlah manajemen, tetapi ekonomi berdasarkan kewirausahaan

(entrepreneurship). Itu sebabnya Dracker maupun Paul EMrod haqul yaqin, maju

mundurnya perusahaan tergantung pada kemampuan sang entrepreneur –

umumnya pendiri atau pemilik usaha- untuk mengembangkan bisnisnya.

Kesimpulannya, kegagalan sang pemilik memajukan perusahaan, berakibat

mandeknya perusahaan yang bersangkutan. Artinya, terdapat ketergantungan

yang begitu tinggi terhadap sang entrepreneur (si empunya perusahaan/sang wira

usaha)

Begitupun Prof. Alejandrino J. Ferreria dari Asean Institute of Management di

Filipina, sami mawon. Menurutnya, superioritas usaha yang digeluti amat

ditentukan oleh paradigma wirausaha itu sendiri. “Sukses yang dicapai sekarang,

tidak ada artinya jika tidak diimbangi dengan perencanaan dan kemampuan

melihat ke depan,” ungkap Alejandrino dalam suatu lokakarya di lembaga

manajemen PPM di Jakarta. Masih kata Alejandrino, setidaknya ada empat

paradigma yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi sukses atau superior

di tingkat persaingan usaha yang semakin ketat.

Pertama, seorang wirausaha harus mampu memprediksi kemungkinan dimasa

mendatang. Sebab, entrepreneur itu harus sarat ide-ide, seolah hanya melihat

peluang dan kepuasan pelanggan. Sedangkan eksekutif, adalah seorang yang

senantiasa menyelesaikan masalah yang timbul di perusahaan.

Paradigma kedua, fleksibilitas dari sang wirausaha. “Seorang entrepreneur harus

bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan kerja maupun lingkungan usaha,”

paparnya. Nah, hal ini diyakini akan membawa perusahaan untuk terus bisa

bertahan.

Ketiga, rule of the game, harus dinamis dalam mengantisipasi sebagal macam

kemungkinan sebagai kemampuan mengubah aturan main. Hal ini berkaitan erat

dengan inovasi atau penciptaan hal-hal baru dalam berbisnis. Perubahan sistim

pembayaran tariff telepon selular dari pascabayar ke prabayar merupakan contoh

nyata perubahan aturan main (rule of the games) yang sangat antisipatif.

Paradigma keempat adalah kemampuan melanjutkan perubahan dari aturan atau

bentuk yang telah ada sebelumnya. “Inovasi yang kita buat dalam beberapa masa

ke depan akan selalu tertinggal. Kemampuan memperbaharui produk dan aturan

main inilah yang dapat membuat seorang wirausaha menjadi superior, “ tloes

Alejandrino serius.

Tapi tunggu dulu, kenyataan lain mengungkap bahwa kewirausahaan seorang

entrepreneur aja ternyata belum cukup. Sebab, tentu ada keterbatasan-

keterbasatan sang wirausaha itu sendiri dalam menggelindingkan roda usahanya.

Itu sebabnya seorang wirausaha tidak boleh pelit dalam menularkan

(mentransformasikan) ilmu entrepreneurshipnya kepada individu-individu di setiap

lini perusahaannya. Nah, ini yang disebut dengan intrapreneurship atau intrausaha.

Sebab, pada dasarnya, intrapreneurship adalah jiwa wirausaha yang juga

merupakan hal mutlak yang harus dibangkitkan pada individu-individu dalam suatu

perusahaan.

Konon, intrapreneurship belakangan makin berkembang saat perusahaan pusing

tujuh keliling memikirkan pesaing-pesaing barunya yang memiliki sumber daya

manusia dengan tingkat entrepreneurship amat tnggi. “Timbulnya fenomena ‘baru’

sebperti ini, pada akhirnya memaksa perusahaan untuk mentransformasikan jiwa

wirausahanya kepada individu-individu di organisasinya,” kata pakar pemasaran

dari Universitas Indonesia D. Rhenald Kasali. Kedepan, lanjutnya, kombinasi

antara entrepreneurship dan intrapreneurship inilah yang akan menjadi kendaraan

untuk mencapai tujuan secara optimal.

Jadi, ketika manajemen dianggap mati dan digantikan kewirausaha, bukan berarti

manajemen tak diperlukan sama sekali. Manajemen tetap perlu, dan sebagai

jawabannya ada pada intrausaha. Jadi, intrausaha merupakan kombinasi antara

wirausaha dengan manajemen, karena jiwa entrepreneur juga tumbuh dari sebuah

organisasi yang dijalankan dengan mengadopsi manajemen sebagai sarana

mentransformasikannya. Memang, seperti kata Rhenald, entrepreneurship wajib

dimiliki setiap pemimpin (leader) masa kini. Namun entrepreneurship dapat

diciptakan, bukan hanya dilahirkan.

Karena itu, entrepreneur adalah seorang individu yang terorganisasi dengan baik,

bukan acak-acakan dan tak ter struktur.

Lantas, bagaimana MLM? Banyak menyebut, bidang usaha ini “Universitas

Entrepreneur”. Maklumlah, di bisnis yang memadukan selling dan sponsoring ini,

setiap pelakunya diarahkan menjadi pengusaha mandiri, tanpa melihat embel-

embel pendidikan maupun status sosial lainnya. Mereka terus dituntut kreatif dan

inovatif dalam setiap kondisi, bangkit dari kegagalan, menciptakan downlinenya

sebagai wirausaha juga. Tanpa duplikasi ini, jangan berharap seseorang menunai

kesuksesan di MLM.

Salam Sukses

sumber: http://web-cerdas.cjb.net
Previous
Next Post »